Lelaki dengan Telinga Kelinci
Meka N. Kawasari. Pekerja Teks Komersial. Menyelesaikan pendidikan pada jurusan Sastra Indonesia di Universitas Diponegoro. Kini tinggal dan bergiat di Tangerang Selatan.
Bisa dihubungi melalui akun Ig: @nitkawasari dan twitter: @NitKawasari, atau di sikembojajepang@gmail.com.
Tubuhku memang tak sempurna, tetapi aku dapat melakukan banyak hal. Termasuk membuatnya senang, geram, bersemangat, bahkan mengubahnya sedemikian bijak.
Aku suka dengan aroma jemarinya, juga dengan telinganya yang hampir serupa telinga kelinci itu. Sedikit panjang dan lancip. Jangan kau bayangkan benar-benar seperti telinga kelinci. Hanya sedikit mirip. Kau tahu? Telinganya begitu tajam. Jika kau tak waspada, ia dapat membuat tubuhmu membatu. Ketika hatinya sedang sesejuk udara pagi, ia tak akan segan menyiapkan air dengan campuran susu dan aneka bunga untukmu berendam.
***
Matanya lindap, tapi kadang mendelik menahan gesekan-gesekan emosi yang berlompatan dari tempurung kepalanya. Sasongko belum juga mengirimkan kabar. Orang itu sudah tujuh hari lenyap. Tiada seucap pun kata pamit. Ponselnya di luar jangkauan, sementara itu tiada orang yang tahu di mana ia tinggal.
Empat bulan yang lalu
Dari awal berjumpa aku tak acuh padanya. Apalagi setelah ia sengaja menumpahkan kopi susu ke tubuhku di suatu sore. Dirga beranggapan bahwa itu tak disengaja. Sasongko terhenyak ketika mendengarkan pernyataan lawan bicaranya di ponsel. Kopi susu yang sedianya akan ia minum malah bertubi-tubi mengalir ke tubuhku. Ia ceroboh, cangkir bermotif tapak kaki kucing itu diletakkannya miring di atas kardus rokoknya.
“Maaf, basah dan kotor.” Sasongko mengisap rokok yang tinggal seperempat.
“Tak apa, masih bisa dilap, sebentar lagi kering.”
Senyumnya melebar, bagaikan sayap burung yang sedang terbang. Sama sekali tak ada gurat kekesalan. Bahkan ketika pulpen Sasongko terlempar ke bawah kursi di samping meja kami, ia dengan sigap mengambilkan. Sesekali mereka tertawa. Sesekali pula tubuh Sasongko menebarkan aroma zaitun. Kadang jeruk bergamot, tomka, dan guaiac. Wanginya menampakkan kegagahan dan kebebasan. Padahal wajahnya cukup menyeramkan, dengan satu gigi atas depan yang tanggal entah kapan, dan bekas jahitan di kening bagian kanan. Ah kedua hal itu sungguh tak sepadan. Tetapi cukup menyiratkan seberapa mampukah Sasongko menanggung kehidupan.
“Pak Sasongko bisa diandalkan. Aku percaya padanya. Beliau pendengar yang baik. Sama baiknya dengan Arka.” Ia selipkan pulpen ke telinganya. Lalu buru-buru diseruputnya wedang secang yang belum sempat habis ketika berbincang-bincang. Ini gelas keduanya.
Hatinya berdenyar-denyar. Jemarinya yang beraroma itu melesat. Lekas, enam baris sajak ia torehkan di atas garis lurus yang serupa barisan tentara. Sajak yang riang dan ringan, seringan kue bawang. Pertemuannya dengan Sasongko membuat kegembiraannya terberai keluar, hingga harus diabadikan dengan jemarinya.
Aku selalu suka jika ia begini. Pun suka aroma jemarinya. Aroma tinta yang selalu menguar ketika telinga kelincinya menangkap suara.
Dua belas bulan sebelumnya
Dirga gusar, dielus-elusnya pelan kedua telinganya. Aku mafhum dengan keadaannya. Dua tahun sejak syukuran gelar sarjananya digelar kecil-kecilan, keberuntungan tak juga datang. Pekerjaan tak kunjung bertandang. Bapak dan Mamaknya berharap, Dirga bisa menjadi pegawai negeri. Tak usah banyak berunding, gumpalan hati Dirga pun bersetuju. Keinginannya untuk menjadi pegawai negeri begitu bulat, sebulat bola basket yang dulu kerap ia pantul-pantulkan semasa sekolah.
Di desa Dirga yang rata-rata berpenduduk petani, pegawai negeri dianggap maha perlente. Berseragam, berkulit bersih, bersepatu mengilap, berambut klimis, bisa menenteng tas kulit. Seseorang dengan segera akan naik tingkat jika berhasil menyandang status pegawai negeri. Pun keluarganya yang biasa ke sawah—yang beralas sandal jepit, bahkan kadang bertelanjang kaki, bergumul dengan lumpur, berpakaian dengan kaus yang banyak lubang— akan naik derajat setinggi-tingginya.
Dua puluh empat bulan sudah Dirga harus mengulum asa. Dua kali ketika hampir sampai di mulut gerbang, ia harus ditumbangkan paksa. Kalah saingan. Kadang ia geram, menurutnya, pemerintah kabupaten terlalu bodoh tak mau menerima lulusan fakultas pendidikan dari salah satu perguruan tinggi ternama—pernah menjadi mahasiswa berprestasi, mendapat beasiswa peningkatan prestasi pula—seperti dirinya.
“Seratus juta…. Seratus lima puluh…. Dua ratus. Tinggal sebut. Bapaknya juragan sapi.” Arka bersungut-sungut.
Kepala Dirga layu, menunduk. Diraihnya pulpen biru. Ada batang-batang duri yang menyodok sanubarinya. Nyeri. Aku mengintipnya dengan hati-hati.
“Alina maksudmu?”
“Yoi, siapa lagi?”
“Bisa jadi dia memang masuk dengan murni, Ar.”
“Heleh, semua orang tahu, Dir. Tak ada yang murni, di sini. Jikalau ada yang murni pun,orang-orang beranggapan Tak murni. Toh mereka bangga dengan ketidakmurnian itu.”
“Ya siapa tahu, Alina lagi bejo kali.”
Kawan sejak balita hingga SMA-nya itu menghujani Dirga dengan kenyataan-kenyataan yang dua hari lalu baru didapatkannya. Ludahnya meninggalkan titik-titik kecil, kadang di wajah, tangan, dan baju milik Dirga.
Sebenarnya, kedatangan Arka hari itu untuk berpamitan. Ia akan melanglang buana ke metropolitan. Kebosanan sudah menjalari tempurung kepalanya. Harapannya, setitik kemurnian dan kejujuran bisa didapatkannya di sana. Seperti yang ia dengar dari teman-teman kampusnya, bahwasannya di ibu kota tak harus mengoleskan pelumas untuk memperlancar usaha.
Dirga kembali merenung. Ia tak ingin menyalahkan ibunya yang telah mengandungnya. Mau mengikatkan tali ke leher? Ia masih punya urat malu. Malu dengan gelar akademiknya. Malu jika sampai membuat orang tuanya dipermalukannya sendiri. Malu ketika berjumpa malaikat. Apalagi berjumpa Tuhan. Mau disembunyikan di mana mukanya? Memang tega sama orang tuanya? Toh mau disembunyikan di mana pun mukanya, Tuhan juga pasti tahu.
Tinta biru, Dirga gunakan untuk mengikat huruf menjadi kata. Lalu menyulam kata menjadi kalimat. Pikirannya kalut, antara marah kepada diri sendiri, keadaan, dan para penikmat fasilitas pintu belakang. Jemarinya gemetar, napasnya memburu. Lima sajak ia selesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sajak yang diluncurkan dengan lirik kemarahan.
Sepuluh bulan yang telah berlalu
Senja selalu berani berangkat sendiri. Meskipun tak seberapa lama, namun ia tak pernah berfoya dalam perjalanan pulangnya. Terkadang ia tampak murung ketika awan hitam berarak menciderai keceriaannya yang hanya selintas saja. Tetapi, tak pernah lalu membuatnya enggan kembali ketika sore menyambut sang malam.
Dirga pun menjadi seberani senja. Meskipun silih berganti kegagalan tak mau melepaskan jeratannya, ia tak melanjutkan niat untuk merutuki apa pun sebab dan akibatnya.
Hari ini Dirga bersiap. Tiga hari lagi rombongan bupati akan mendatangi desanya. Desa Dirga sudah sedari nenek moyang mempunyai lahan pertanian yang luas, hasil yang melimpah. Ladang-ladangnya, penghasil bawang merah dengan kualitas unggul. Dirga tak ingin ketinggalan kesempatan. Izin kepala desa sudah dipegang. Susunan acara pun sudah dimatangkan. Keinginannya membuncah, serupa santan mendidih yang mencuat-cuat keluar menerjang tutup panci, pelindungnya.
“Aku ingin seperti Dastan[1]. Sedikit berbeda sebenarnya. Dastan diangkat jadi anak raja, aku diangkat jadi pegawai saja tak apa, hehehehehe.” Aku terkekeh lirih mendengar ucapannya yang sekonyol itu. Keras pun sebenarnya kekehanku juga tak mungkin akan didengar Dirga. Kerasukan apa si Dirga, mana mungkin semudah itu diangkat sebagai pegawai, kecuali ia memiliki prestasi, di bidang olahraga misalnya.
Ah, biarlah apa pun keinginan Dirga, aku selalu senang. Meskipun tak terlihat, dukunganku penuh tercurah padanya.
“Dastan menuruti hati kecilnya, hingga dia menjadi hebat, tak terduga,” Dirga masih mengoceh penuh semangat.
Disandarkan kepalanya pada tubuhku yang lumayan tebal. Semoga ia nyaman. Kuelus pelan kepalanya, kuberikan sedikit kecupan di keningnya, sembari mengamini setiap harapan yang dilontarkannya sore ini.
Seminggu yang lalu, setelah menjemur pakaian dan makan siang, Dirga membuka file film[2] yang diberikan Arka sebelum berangkat ke ibu kota. Aku turut melihat. Mata Dirga tak berkedip, entah kagum dengan kecantikan Putri Tamina, atau terpesona dengan belati jam pasir. Ia tak pernah bercerita. Setelah film berakhir, berulang-ulang Dirga menyebut nama Dastan.
Prasangkaku berkelojatan, kupikir Dirga tergila-gila dengan tokoh Dastan yang begitu gagah. Sudah gilakah ia karena beberapa kali gagal menjadi pegawai negeri hingga mengagumi manusia dengan kelamin sama sepertinya? Kalau kau bisa melihat, kau akan tahu seberapa panik dan khawatirnya aku. Setelah ia bercerita ingin seperti Dastan, anak jalaan yang diadopsi raja, barulah aku mengerti.
Sorenya, Dirga kesetanan. Berlari ke rumah Pak Lurah. Sementara ia tak mengajakku, lupa katanya. Dilobinya Pak Lurah agar ia bisa bersajak ria di depan bupati. Sampai-sampai Pak Lurah dimintanya mendengarkan ia bersajak hingga lima sajak. Entah kasihan atau memang menurut Pak Lurah, sajak-sajak Dirga bagus, setelah tiga jam melobi, izin pun digenggam.
Malam harinya, Dirga bagaikan kesurupan Chairil Anwar. Berpuluh-puluh sajak, ia buat. Dibacakan sebentar, lalu buat lagi. Dini hari, Dirga memilh dua sajak tentang melimpahnya bawang merah di desanya dan Bupati yang gagah untuk mendampinginya menghadap Bupati. Berharap Bupati atau pejabat lain kemudian hari menyukainya, lalu dapat mempermudah jalannya.
Satu hari setelahnya
Sembari meraba-raba, Dirga menekan tombol ponselnya. Matanya masih setengah terpejam. Arka menyerocos dari seberang. Memang kawan Dirga yang satu itu jika sudah bercerita, mirip perempuan. Mulutnya tak mau menutup. Terus, terus, dan terus. Hingga ia kehausan atau mau kencing barulah memberi jeda. Tetapi, Dirga tak pernah mempermasalahkan kebiasaan Arka. Terkadang memang buruk, tetapi banyak baiknya juga ketika banyak warta penting yang tersiar dari mulut Arka.
“Apa?” Mata Dirga terbelalak. “Wah selamat ya.” Tawa kecil menyeringai dari bibir Dirga.
Buru-buru Dirga menyibak pintu kamar mandi. Ia harus segera ke kantor kabupaten. Arka lolos menjadi pegawai di pemerintahan pusat. Sedangkan Dirga? Ia kemarin tak sempat pergi ke kantor kabupaten untuk sekadar mengintip ada atau tidakkah namanya. Para kambing butuh dedaunan untuk kunyahan dan pengganjal lambung. Sementara Bapak dan Mamaknya seharian di sawah. Sedangkan adiknya harus sekolah.
Sial memang selalu datang mendadak, tanpa basa-basi apalagi permisi. Kuota internetnya habis ketika badannya baru bisa rebah. Lalu, mulutnya berkomat-kamit menyenandungkan beberapa lagu untuk meleram kesedihannya. Hingga ia tertidur pulas sampai matahari kembali bertugas di kerajaan langit.
Diam-diam, Dirga mengalungkan kesalutan pada kawannya itu. Si anak juragan bawang merah yang idealismenya nyundul langit. Susah ditekuk, apalagi dilipat. Ia akui, Arka memang mandiri sejak kecil, tak seperti Alina, yang selalu bertumpu pada kaki orang tuanya. Jauh, jauh sekali. Bagaikan bintang kejora dan hotel bintang lima. Bintang kejora begitu sederhana di antara dekapan sang alam, sementara hotel bintang lima selalu mewah untuk mereka yang ingin berleha-leha.
Satu minggu sesudahnya
Ingatannya belum memudar. Sasongko ia kenal ketika riuh tepuk tangan rombongan bupati selesai bergemuruh di penjuru pendopo desa. Sebelumnya, Dirga melihatnya sedang duduk di antara para tamu undangan. Sasongko menangkap pesan terselubung di sajak Dirga. Saat mengenalnya, hidung Dirga menangkap wangi zaitun bercampur jeruk bergamot. Begitu meneduhkan.
Sudah satu minggu Sasongko tiada kabar. Aku pun merasakan kegusaran Dirga. Kemurungan mendera hari-harinya. Duduknya tak tenang, tidurnya tak nyenyak, makannya tak enak.
“Aku terlalu tergesa-gesa. Bodoh. Habis. Sialan kau Sasongko.”
Tetesan darah Dirga mengalir ke pangkuanku. Kaca yang ia tinju berhasil melukai punggung tangan kanannya.
Satu bulan setelah kopi susu ditumpahkan Sasongko ke tubuhku, Dirga menemuinya lagi. Kala itu di lapangan sepak bola desa, di antara pohon cemara, Dirga mengambil sesuatu, di antara tubuhku. Tubuhku sampai melengkung dan sedikit terbuka. Ketebalannya pasti lumayan. Amplop cokelat pembungkus rupiah berwarna merah, Dirga serahkan dengan hati-hati kepada Sasongko. Seminggu setelahnya, Dirga harus melewati masa ujian.
Dirga tak menduga, Sasongko ingkar. Wajah Mamak, bapak, dan adiknya melayang-layang di kepala yang pening berputar-putar.
Kini, tubuhku beraroma kopi susu. Organku tak lagi sekadar bergaris hitam dan berdaging putih. Merah darah Dirga mengaburkan batasan itu. Tetapi aku tetap menyukai aroma tinta pada jemari dan telinganya yang serupa telinga kelinci itu. Otakku buram, tak dapat menerka, sajak dapat kembali ia goreskan di organ dalamku ini.
Catatan:
[1] Film Prince Of Persia
[2] Prince Of Persia
Tangerang, Februari 2016